Kalau sudah besar, mau jadi apa?

Pencarian “apa” yang akan berkembang menjadi “seperti apa”

Shabrina Nur Amalina
4 min readApr 9, 2023

Genap seminggu tantangan 11 Hari Menulis berjalan, tema “Bebas, silakan menulis sesukamu” hadir kembali membuat pikiran berjalan-jalan mencari pencerahan. Beberapa buku dan catatan dibuka-buka lagi, siapa tau ada ide yang terparkir lama dan menarik menjadi bahan tulisan.

Saat membuka sebuah kotak berisi jurnal dan buku catatan lainnya, notebook dari kamar kata-kata Mba Reda Gaudiamo mencuri perhatianku. Aku ingat alasan membelinya karena di dalamnya terdapat pemantik ide yang mudah diikuti, seperti salah satu halaman yang akhirnya membuatku mulai menulis di sini.

Di Mana Ide Bisa Kita Temukan?

Dimana-mana, karena mereka ada di sekeliling kita.
Mari kita temukan…

( pada foto yang terselip di dompet atau yang berjajar di atas piano bisa memanggil kenangan hari kemarin, tuliskan itu;

( pada cangkir kopi, mangkuk keramik berisi giwang tanpa pasangannya;

( lagu yang terdengar dari rumah tetangga, membawa kenangan pada satu masa, dan jadi bahan tulisan jurnal hari ini;

( sepotong berita yang tak biasa di koran atau website berita langganan bisa dijadikan ide cerpen;

( salin satu kalimat dari buku kesayangan, lalu tulislah sebuah cerita pendek dengan memasukkan kalimat tadi dalam cerita Anda;

( perhatikan orang yang duduk di hadapan Anda. Bagaimana kalau Anda jadikan dia tokoh di cerita berikut?

Aku mengambil ide dari sebuah post-it yang menempel di dinding meja kerjaku, yang ternyata beresonansi dengan celetukan ibu sebelum shalat Isya tadi. “Nulis tentang cita-cita aja,” katanya. Kalau melihat evolusi cita-citaku, kurang lebih seperti ini berdasarkan urutan waktu:

  1. Guru Ngaji
    Saking terinspirasinya dengan Teh Ratni, guru ngajiku sewaktu kecil dulu, aku pernah dengan yakinnya menjawab guru ngaji sebagai cita-cita. Jawaban ini disambut dengan nada ketidakpercayaan dari nenek, “Kenapa mau jadi guru ngaji?”. “Soalnya guru ngaji bakal masuk surga,” jawabku.
  2. “Dokter”
    Pakai tanda kutip karena nggak pernah benar-benar sadar pengen jadi dokter. Seingatku dulu pernah mengisi dokter sebagai cita-cita di halaman binder buat tuker-tukeran biodata sewaktu SD. Motivasinya simpel, biar bisa gambar stetoskop pas nulis cita-cita, kayak temen-temen yang lain
  3. Desainer
    Jalan-jalan bersama bapak ke ITB Fair atau Pasar Seni membuahkan sebuah cita-cita yang panjang umur, setidaknya dari SD sampai SMA. Dengan pedenya dulu bilang mau masuk desain grafis (DKV) atau seni kriya ITB. Ada masanya manifesting habis-habisan supaya bisa jadi anak yang nyeni.
  4. Segala macam
    Memasuki kelas XI SMA, it’s getting real. Beneran harus milih jurusan, udah harus agak serius nggak bisa pengennya aja. Soalnya kalau cuma “pengen”, sebanyak itu pilihannya. Enaknya memang menjadikan personality MBTI ENFP si banyak minat (dan impulsif) sebagai kambing hitam.
  5. Ibu
    Dimasukkan ke dalam daftar cita-cita karena untuk meraihnya justru harus melewati perjalanan panjang nan susah, setidaknya dalam kasusku (baca: harus melewati berdamai dengan diri sendiri dan masa lalu dulu, pencarian pasangan, menikah, kompromi, dan lain sebagainya).
Terlihat “cringe” di masa sekarang, namun cukup menggambarkan menjadi segala macam adalah cita-citaku :’)

Post-it yang ada di hadapanku bertuliskan,

“Be it a design researcher, marketing consultant, social entrepreneur, writer, campaigner, city caretaker, teacher, or mother, you have to be an empowered woman.”

Saat aku menuliskan ini di awal tahun 2020, menjadi seorang product manager belum menjadi opsi di kepala. Namun yang jelas peran apapun yang aku ambil kedepannya, aku ingin menjadi manusia yang berdaya. Berdaya di sini aku artikan sebagai memiliki kehendak untuk menentukan peran dalam kehidupan dan bertanggung jawab atas pilihan tersebut. Ada kebermaknaan yang dirasakan dalam keseharian, dan ada rasa pencapaian tujuan meskipun berproses sedikit demi sedikit.

Dalam peran apapun itu, aku ingin mengerjakan hal yang:

  • Melibatkan komunikasi dengan berbagai orang, seperti kolaborasi lintas divisi atau menemui user dan stakeholder dengan tipe yang bermacam-macam.
  • Menangkap permasalahan dan mencari solusinya melalui proses yang kreatif dan kolaboratif.
  • Dinamis setiap harinya, bertemu tantangan baru sembari memantau manfaat dari solusi yang sudah diimplementasi sebelumnya.
  • Memanfaatkan ilmu dan pengalaman yang pernah diperoleh sebelumnya, dan bisa menjahit apa yang dimiliki menjadi sesuatu yang berguna.

Cukup umum ya? Dengan pegangan empat aktivitas di atas dan sudut pandangku yang merasa opsi kedepannya bisa sangat dinamis tak jarang membuatku kesulitan dalam menentukan rencana karir. Kalau mau berpatokan dengan jurusan, kebetulan manajemen rekayasa industri memiliki background engineering tapi bukan yang engineering banget. Hampir serupa dengan teknik industri, manajemen rekayasa industri bisa menjelma jadi banyak peran.

Mencoba melihat pola yang pernah aku alami, sepertinya konsep “nyemplung dulu” dapat menjadi alternatif solusi ketika sulit membuat keputusan. Tentunya bisa nyemplung dulu adalah sebuah privilese tersendiri, tidak semua orang memiliki kesempatan ini. Kalau melihat kembali ke tulisan tahun 2021 ini, nyemplung dulu ternyata membawaku bertumbuh, meskipun konsepnya harus ada pembuktian dulu baru bisa yakin dengan diri sendiri :’)

Setelah melewati 2 tahun 4 bulan dengan tiga role dan jenis pekerjaan beragam, yang dapat memenuhi aspirasi di atas adalah peranku saat ini, yaitu product manager. Produk payment in yang dipegang saat ini memungkinkanku menjadi “dokter” tempat product business unit berkonsultasi, “desainer” yang merancang solusi bersama tim, selalu bertemu tantangan adopsi teknologi oleh user yang tidak tech-savvy, dan upgrade ilmu karena latar belakang pendidikan saja tentu tidak cukup meskipun konsep dasarnya sangat membantu.

Jadi kalau ada yang tanya mau jadi apa, jawabannya kira-kira sudah bisa dirangkai lah ya. Terkadang manusia hanya menerima jawaban yang pasti-pasti saja, padahal hidup betul-betul dinamis dan yang paling penting bukan hanya berhenti sampai di “apa” saja.

Pertanyaan selanjutnya yang perlu untuk dijawab adalah,

Kamu ingin menjadi orang yang seperti apa, Shab?

--

--